PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA
Manusia adalah makhluk sosial yang perlu berinteraksi, butuh
berkomunikasi dengan menusia lain. Supaya interaksi dapat berlangsung
interaktif, tentu membutuhkan alat, sarana atau media, dan yang paling
utama digunakan manusia adalah BAHASA.
Pengajaran Bahasa Indonesia adalah proses mengajar atau mengajarkan
Bahasa Indonesia. Tujuan utamanya adalah siswa mampu berkomunikasi
dengan bahasa Indonesia mempelajari Bahasa Indonesia, siswa sudah
memiliki bahasa pertama yaitu bahasa daerah. Oleh karena itu, pengajaran
Bahasa Indonesia ini merupakan pengajaran bahasa kedua setelah bahasa
daerah.
Landasan formal pengajaran Bahasa Indonesia adalah Kurikulum Bahasa
Indonesia yang ditetapkan oleh pemerintah. Dikemukakan dalam Kurikulum
(GBPP) Bahasa Indonesia SD bahwa pengajaran Bahasa Indonesia pada
hakikatnya belajar berkomunikasi dan peningkatan kemampuan siswa dalam
berbahasa Indonesia lisan maupun tulisan.
Peran aktif guru dalam penyampaian materi pelajaran Bahasa Indonesia di
kelas sangat menentukan diterima atau tidaknya pesan dan informasi oleh
siswa. Kesalahan-kesalahan siswa dalam pembelajaran Bahasa Indonesia
harus dapat dijadikan motivasi siswa untuk belajar memperbaiki kesalahan
tersebut dan mengetahui kebenaran atas kesalahan tersebut. Di sinilah
peran guru untuk meluruskan dan mengarahkannya.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
Rahmat serta hidayah kepada kita semua, sehingga berkat karunia-Nya
penulis dapat menyelesaikan makalahnya yang berjudul “Pengajaran
Pembelajaran Bahasa Indonesia” Walaupun melalui jalan yang panjang di
sertai dengan berbagai macam kesulitan, namun syukur alhamdulillah
berkat adanya usaha dan bantuan dari berbagai pihak, maka kesulitan
tersebut dapat terselesaikan.
DAFTAR ISI
ABSTRAK.. i
KATA PENGANTAR.. ii
DAFTAR ISI. ii
BAB I PENDAHULUAN.. 2
A. Latar Belakang Masalah. 2
B. Rumusan Masalah. 2
C. Tujuan. 2
D. Manfaat 2
E. Sistematika Laporan Makalah. 2
BAB II PEMBAHASAN.. 2
A. Pengajaran Bahasa Indonesia dan Fungsinya. 2
B. Pelaksanaan Pengajaran Bahasa Indonesia di SD khususnya kelas 2. 2
C. Metode pengajaran Bahasa Indonesia di kelas rendah. 2
D. Teknik pengajaran Bahasa Indonesia di kelas rendah. 2
BAB III KESIMPULAN.. 2
A. Kesimpulan. 2
B. Saran. 2
DAFTAR PUSTAKA.. 2
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan pengajaran bahasa Indonesia dan apa saja fungsinya?
2. Bagaimana pelaksanaan pengajaran Bahasa Indonesia di kelas rendah?
3. Metode apa saja yang digunakan dalam pengajaran Bahasa Indonesia di kelas rendah?
4. Teknik apa saja yang digunakan dalam pengajaran Bahasa Indonesia?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari pengajaran bahasa Indonesia
2. Untuk mengetahui pelaksanaan pengajaran bahasa Indonesia
3. Untuk mengetahui metode metode yang digunakan dalam pengajaran bahasa Indonesia
4. Untuk mengetahui teknik teknik yang digunakan dalam pengajaran bahasa Indonesia
D. Manfaat
Untuk menambah pengetahuan tentang pengajaran pembelajaran bahasa
Indonesia. Untuk gambaran tentang bagaimana seharusnya guru mengajarkan
bahasa Indonesia di Sekolah Dasar dengan benar.
E. Sistematika Laporan Makalah
Bab I Pendahuluan
A. Latar belakang masalah
B. Rumusan masalah
C. Tujuan
D. Manfaat
E. Sistematika laporan makalah
Bab II Pembahasan
A. Pengajaran Bahasa Indonesia dan Fungsinya
B. Pelaksanaan pengajaran bahasa Indonesia
C. Metode metode pengajaran bahasa Indonesia
D. Teknik-teknik pengajaran bahasa Indonesia
Bab III Penutup
A. Kesimpulan
B. Saran
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Kondisi
masyarakat dewasa ini sangat memprihatinkan. Perkelahian, pembunuhan,
kesenjangan sosial, ketidakadilan, perampokan, korupsi, pelecehan seksual,
penipuan, fitnah terjadi di mana-mana. Hal itu dapat diketahui lewat berbagai
media cetak atau elektronik, seperti surat kabar, televisi atau internet. Bahkan, tidak jarang kondisi seperti
itu dapat disaksikan secara langsung di tengah masyarakat.
Keprihatinan
terhadap kondisi masyarakat yang demikian itu, menumbuhkan semangat untuk
mengkaji sebab dan mencari pemecahannya. Penelitian dan seminar mengenai masalah
tersebut telah berkali-kali diselenggarakan oleh berbagai instansi, baik
pemerintah maupun swasta. Ujungnya adalah persamaaan persepsi terhadap
pentingnya menggalakkan pendidikan karakter.
Respon
masyarakat terhadap pendidikan karakter berbeda-beda. Di kalangan kelompok
pendidik muncul pendapat tentang
perlunya pendidikan budi pekerti, sedangkan
agamawan memandang perlunya
penguatan pendidikan agama. Mereka yang berkecimpung di bidang politik
mengusulkan revitalisasi pendidikan Pancasila.
Dalam hal ini, Kemendiknas telah merespon berbagai pendapat itu dengan
membentuk Tim Pengembang Pendidikan Karakter.
Selanjutnya, para guru terutama guru bahasa dan sastra
Indonesia ingin menyumbangkan pemikiran tentang perlunya
pendidikan apresiasi sastra terhadap pembentukan karakter siswa. Melalui sastra diharapkan dapat terwariskan nilai-nilai
luhur kearifan lokal guna membendung pengaruh negatif era globalisasi. Oleh
karena itu, sangatlah penting untuk diketahui tentang sejauhmana “Pengaruh
Apresiasi Sastra terhadap Karakter Siswa”.
1.2
Rumusan
Masalah
1. Apakah
pendidikan karakter dan satra itu?
2. Bagaimana
relevansi sastra terhadap pendidikan karakter di kalangan siswa?
3. Bagaimana
pengaruh apresiasi sastra terhadap karakter siswa?
4. Bagaimana
memberdayakan
pembelajaran apresiasi sastra di sekolah?
5. Bagaimana
upaya yang bisa dilakukan pendidik untuk
menanamkan pendidikan karakter melalui sastra?
1.3
Tujuan
1. Untuk
mengetahui pengertian pendidikan karakter dan sastra.
2. Untuk
mengetahui relevansi sastra terhadap pendidikan karakter di kalangan siswa.
3. Untuk
mengetahui pengaruh apresiasi sastra terhadap karakter siswa.
4. Untuk
mengetahui pemberdayaan pembelajaran apresiasi sastra di
sekolah.
5. Untuk
mengetahui upaya yang bisa dilakukan pendidik untuk menanamkan pendidikan karakter
melalui sastra.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pendidikan Karakter dan Sastra
1.
Pendidikan Karakter
Karakter menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia berarti sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi
pekerti. Karakter dapat diartikan sebagai tabiat, yaitu perangai atau perbuatan
yang selalu dilakukan atau kebiasaan.
Pengertian karakter menurut para ahli, aadalah
sebagai berikut:
- a. Menurut Suyanto (2009) mendefinisikan karakter sebagai cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, maupun negara.
- b. Menurut Pritchard (1988: 467) mendefinisikan karakter sebagai sesuatu yang berkaitan dengan kebiasaan hidup individu yang bersifat menetap dan cenderung positif.
Pusat Kurikulum Kementerian Pendidikan Nasional (2011:10)
telah merumuskan materi pendidikan karakter yang mencakup aspek-aspek sebagai
berikut: (1) religius, (2) jujur, (3) toleran, (4) disiplin, (5) kerja keras,
(6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat
kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, (13) bersahabat
atau komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan,
(17) peduli sosial, tanggung jawab. Jadi,
pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada
warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan
tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut.
- 2. Sastra
Dalam
Wikipedia Indonesia, sastra
merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta śāstra, yang berarti “teks yang
mengandung instruksi” atau “pedoman”, dari kata dasar śās- yang berarti
“instruksi” atau “ajaran”. Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan
untuk merujuk kepada “kesusastraan” atau sebuah jenis tulisan yang memiliki
arti atau keindahan tertentu. Selain itu dalam arti kesusastraan, sastra bisa
dibagi menjadi sastra tertulis dan sastra lisan. Maksud dari sastra lisan di
sini ialah sastra yang tidak banyak berhubungan dengan tulisan, tetapi dengan
bahasa yang dijadikan wahana untuk mengekspresikan pengalaman atau pemikiran
tertentu.
2.2 Relevansi Sastra terhadap Pendidikan
Karakter di Kalangan Siswa
Siswa adalah generasi
muda, generasi penerus, yang akan menjadi pemilik masa depan bangsa. Akan
seperti apa wajah bangsa Indonesia di masa depan sangat tergantung pada
bagaimana kita membentuk karakter siswa sejak sekarang. Oleh karena itu, membangun
karakter siswa menjadi pekerjaan bersama (khususnya para guru dan orang tua)
yang amat penting.
Pengajaran
di sekolah, termasuk pengajaran sastra, menjadi tumpuan yang sangat
vital. Jika kita gagal membentuk karakter yang positif dan unggul pada diri
siswa, bisa-bisa masa depan bangsa ini akan semakin
terpuruk, kehilangan harapan, atau setidaknya akan kehilangan kepribadian dan
gampang dijajah serta ”diperbudak” oleh bangsa lain yang lebih adidaya.
Belajar sastra adalah salah satu keterampilan yang imajinatif
dan komunikatif bagi siswa sebagai pencipta maupun penikmat sastra. Di dalamnya
terdapat muatan mendidik yang tersirat dan tidak bersifat doktrin. Siswa juga
bisa mencerna sesuai dengan perkembangan jiwanya dan membuatnya sangat peka
terhadap karya sastra itu sendiri.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa sastra sangat relevan dengan
pendidikan karakter. Karya sastra sarat dengan nilai-nilai pendidikan akhlak
seperti dikehendaki dalam pendidikan karakter. Cerita rakyat ”Jaka Tarub”
mengajarkan anak mengenai pentingnya menjunjung tinggi nilai kejujuran dan
kepercayaan. Cerita binatang ”Pelanduk Jenaka” mengandung pendidikan tentang
harga diri, sikap kritis, dan protes sosial. Sementara itu, bentuk puisi
seperti pepatah, pantun, dan bidal penuh dengan nilai pendidikan.
1.3
Pengaruh
Apresiasi Sastra Terhadap Karakter Siswa
Minat terhadap sastra kini mengalami
degradasi. Hal ini disebabkan oleh tuntutan jaman yang serba instan dan serba
cepat. Karya sastra anak didominasi oleh komik-komik dari luar negeri seperti Spongebob,
Dora the Explorer, Naruto, dan sebagainya. Bahkan tradisi
mendongeng untuk peninabobokan anak sebagai pengantar tidur sang anak sudah tidak menarik lagi bagi seorang
anak dan menjadi sesuatu yang sangat asing.
Membaca
karya sastra bukan hanya untuk
mendapatkan kepuasan karena keindahannya, melainkan juga untuk memperkaya
wawasan dan daya nalar. Sastra adalah vitamin batin, karena mengajarkan
nilai-nilai luhur kemanusiaan kepada pembacanya dan memberikan pencerahan.
Mengingat peranan sastra dalam pengembangan kepribadian pembacanya, maka
pengajaran sastra di sekolah sangatlah penting.
Melalui
pengajaran sastra, siswa tidak hanya diperkenalkan kekayaan sastra Indonesia
dan dunia, tokoh-tokoh dalam kesusastraan, bahkan juga diperkenalkan pada kekayaan
isi karya sastra itu sendiri. Dengan membaca dan memahami karya sastra, berarti
siswa mencoba memahami kehidupan, mencoba memperoleh nilai-nilai positif dan luhur
dari kehidupan, dan pada akhirnya memperkaya batinnya. Sebagaimana yang dikatakan
oleh Sidney (dalam Alwasilah, 2001:31) Apresiasi sastra akan berjalan baik jika
didasari oleh minat yang tinggi pada karya sastra.
Banyak hal yang dapat diperoleh dari sastra. Haryadi
(1994) mengemukakan sembilan manfaat yang dapat diambil dari sastra lama yaitu
sebagai berikut:
1. Dapat perperan sebagai hiburan dan
media pendidikan,
2. Isinya dapat menumbuhkan kecintaan,
kebanggaan berbangsa dan hormat pada leluhur,
3. Isinya dapat memperluas wawasan
tentang kepercayaan, adat-istiadat, dan peradaban bangsa,
4. Pergelarannya dapat menumbuhkan rasa
persatuan dan kesatuan,
5. Proses penciptaannya menumbuhkan
jiwa kreatif, responsif, dan dinamis,
6. Sumber inspirasi bagi penciptaan
bentuk seni yang lain,
7. Proses penciptaannya merupakan
contoh tentang cara kerja yang tekun, profesional, dan rendah hati,
8. Pergelarannya memberikan teladan
kerja sama yang kompak dan harmonis,
9. Pengaruh asing yang ada di dalamnya
memberi gambaran tentang tata pergaulan dan pandangan hidup yang luas.
1.4
Pemberdayaan Pembelajaran Apresiasi Sastra di Sekolah
Dalam
Standar Isi mata pelajaran Bahasa Indonesia Kurikulum 2006 (KTSP) disebutkan
bahwa mata pelajaran bahasa Indonesia bertujuan antara lain agar peserta didik
memiliki kemampuan menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas
wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan
berbahasa, juga menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah
budaya dan intelektual manusia Indonesia.
Seperti penjelasan di atas, sesungguhnya pembelajaran sastra
memiliki tujuan yang mulia dan besar. Hanya saja, tujuan
tersebut cuma akan menjadi slogan apabila dalam
pembelajaran sastra di sekolah tidak dilakukan secara maksimal. Jadi, untuk mewujudkan dan mengembalikan pembelajaran
sastra pada tujuan tersebut, maka pembelajaran apresiasi sastra yang saat ini
lesu dan tak berdaya ini harus kembali diberdayakan.
Dalam rangka pemberdayaan
pembelajaran apresiasi sastra di sekolah, ada beberapa strategi yang bisa
dilakukan yaitu sebagai berikut:
1. Memasukkan
pendidikan karakter ke dalam semua mata pelajaran di sekolah.
2. Membuat
slogan-slogan atau yel-yel yang dapat menumbuhkan kebiasaan semua masyarakat
sekolah untuk bertingkah laku yang baik.
3. Membiasakan
perilaku yang positif di
kalangan warga sekolah.
4. Melakukan
pemantauan secara kontinyu.
Selain
strategi tersebut, guru sebagai pendidik juga harus mempunyai ketertarikan
terhadap sastra, berikut beberapa hal yang perlu dicermati oleh guru itu
sendiri:
a.
Sikap Guru
Selama ini
guru seolah terpasung kreativitas dan jiwa inovasinya dalam melaksanakan
tugasnya bila hasil upayanya hanya selalu dikaitkan dengan hasil Ujian
Nasional. Banyak pihak yang menghakimi guru hanya berdasarkan pencapaian nilai
Ujian Nasional yang mampu diraih oleh siswanya. Bila siswanya meraih nilai
Ujian Nasional yang tinggi, maka hal ini dijadikan indikator bahwa guru yang
bersangkutan telah cukup berhasil dalam melaksanakan pembelajaran. Anggapan
yang demikian berakibat banyak guru yang cenderung pada pelatihan mengerjakan
soal kepada siswa-siswanya. Kecenderungan semacam ini justru mencederai tujuan
dan hakikat pembelajaran apresiasi sastra.
Untuk itu,
pada pemberdayaan pembelajaran apresiasi sastra hendaknya sikap guru perlu diubah. Dalam diri guru harus
ditumbuhkan sikap untuk membuang jauh-jauh orientasi ke nilai Ujian Nasional.
Sebab, pembelajaran apresiasi sastra bukan semata-mata ditujukan agar meraih
nilai Ujian Nasional yang tinggi, melainkan pembelajaran mengenai nilai-nilai
kehidupan, mengingat banyak kandungan nilai yang terdapat dalam sastra yang
dapat dijadikan bekal siswa dalam kehidupannya.
b.
Peran Guru
Dalam
pembelajaran apresiasi sastra selama ini, terkesan bahwa guru banyak berperan
sebagai informator tunggal. Sehingga terbuka kemungkinan guru dijadikan sumber
utama dan satu-satunya sumber informasi bagi siswa. Hal ini melahirkan
kecenderungan guru untuk memerankan diri sebagai ’hakim’ yang sangat
menentukan ’ini benar’ dan ’ini salah’.
Pembelajaran apresiasi sastra akan
lebih berdaya bila guru mampu menempatkan diri sebagai:
1)
Apresiator yang
menjembatani antara karya sastra sebagai bahan ajar dan siswa sebagai penikmat
karya sastra.
2)
Motivator yang
mampu menumbuhkan rasa apresiasi pada diri siswa.
3)
Perunding yang
mampu dengan penuh kearifan dan kebijakan mengakomodasikan berbagai tanggapan
dari siswa sebagai bentuk apresiasi mereka terhadap karya sastra yang tengah
dinikmati serta dihayati.
c.
Kualifikasi Guru
Secara
teknis, guru-guru bahasa umumnya tidak otomatis juga mampu menjadi guru sastra.
Akibatnya, pembelajaran apresiasi sastra akan cenderung bersifat
teknis-teoretis. Lebih ironis lagi bila guru sendiri tidak menyukai sastra
sehingga tak pernah menambah wawasan sastranya dengan membaca buku-buku sastra
berkualitas. Bagaimana siswa akan mencintai sastra apabila guru belum mampu
menjadi contoh bagi siswanya?
Berkenaan
dengan hal tersebut, pemberdayaan pembelajaran apresiasi sastra akan semakin
berarti apabila guru bahasa mau dan mampu meningkatkan dan mengembangkan
dirinya sebagai guru sastra. Guru harus benar-benar memahami hakikat dan tujuan
pembelajaran apresiasi sastra, termasuk di dalamnya mampu dan terampil
mengapresiasi karya sastra. Selain itu, guru juga memiliki rasa cinta kepada
sastra, memiliki pemikiran kritis dalam menganalisis karya sastra, serta
memiliki pandangan tertentu tentang sikap hidup dan nilai-nilai hidup sehingga
mampu memilih dan memilah karya sastra yang tepat untuk diberikan kepada siswa
serta cara menyajikannya.
d. Lingkungan
yang Mendukung
Pemberdayaan
pembelajaran apresiasi sastra tidak dapat dilepaskan bila lingkungan yang ada
turut mendukung. Hal ini harus diciptakan baik oleh guru, siswa, maupun
sekolah. Salah satu di antaranya adalah penyediaan bacaan-bacaan sastra. Dalam
hal ini perpustakaan memegang peran yang utama.
Hanya saja
bacaan sastra di perpustakaan sekolah seringkali sangat terbatas. Untuk
menyiasatinya, guru dapat mengajak siswa mengumpulkan bacaan sastra dari media
cetak atau internet yang disusun dalam bentuk kliping yang dapat dibaca oleh
semua. Bila upaya-upaya tersebut dapat dilakukan, bukan tidak mungkin
pembelajaran sastra di sekolah menjadi bergairah sehingga mampu mencapai tujuan
yang telah dirumuskan.
1.5
Upaya
yang Bisa Dilakukan Pendidik Melalui Sastra
Sebagai wujud untuk
menyampaikan atau menginjeksikan pendidikan
karakter dalam sastra kepada peserta didik ada beberapa upaya yang bisa
dilakukan oleh pendidik dalam mata pelajaran bahasa Indonesia. Pendidik mengungkapkan nilai-nilai dalam mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia dengan pengintegrasian langsung nilai-nilai karakter yang menjadi bagian terpadu dari mata pelajaran tersebut.
karakter dalam sastra kepada peserta didik ada beberapa upaya yang bisa
dilakukan oleh pendidik dalam mata pelajaran bahasa Indonesia. Pendidik mengungkapkan nilai-nilai dalam mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia dengan pengintegrasian langsung nilai-nilai karakter yang menjadi bagian terpadu dari mata pelajaran tersebut.
1. Cerpen
Pendidik bisa menggunakan perbandingan cerita pendek berdasarkan kehidupan atau kejadian-kejadian dalam hidup para peserta didik. Bisa juga menggunakan cerita untuk memunculkan nilai-nilai karakter dengan menceritakan kisah hidup orang-orang besar. Dengan kisah nyata yang dialami orang-orang besar dan terkenal bisa menjadikan peserta didik akan terpikat dan mengidolakan serta pastinya ingin menjadi seperti idolanya tersebut.
2. Puisi (lagu)
Seperti yang kita ketahui, musik / lagu bisa memberikan efek yang sangat dalam bagi pendengarnya. Bahkan kabar terkini yang telah kita ketahui bersama, bayi dalam kandungan pun bisa dipengaruhi dengan lagu yang diputar dekat dengan perut ibunya. Dengan dasar ini pendidik bisa menggunakan lagu-lagu dan musik (musikalisasi puisi) untuk mengintegrasikan nilai-nilai karakter dalam benak peserta didik.
Pendidik bisa menggunakan perbandingan cerita pendek berdasarkan kehidupan atau kejadian-kejadian dalam hidup para peserta didik. Bisa juga menggunakan cerita untuk memunculkan nilai-nilai karakter dengan menceritakan kisah hidup orang-orang besar. Dengan kisah nyata yang dialami orang-orang besar dan terkenal bisa menjadikan peserta didik akan terpikat dan mengidolakan serta pastinya ingin menjadi seperti idolanya tersebut.
2. Puisi (lagu)
Seperti yang kita ketahui, musik / lagu bisa memberikan efek yang sangat dalam bagi pendengarnya. Bahkan kabar terkini yang telah kita ketahui bersama, bayi dalam kandungan pun bisa dipengaruhi dengan lagu yang diputar dekat dengan perut ibunya. Dengan dasar ini pendidik bisa menggunakan lagu-lagu dan musik (musikalisasi puisi) untuk mengintegrasikan nilai-nilai karakter dalam benak peserta didik.
3. Drama
Pendidik bisa juga menggunakan drama sebagai media untuk melukiskan kejadian-kejadian yang berisikan nilai-nilai karakter. Sehingga secara audio visual serta aplikasi langsung (pementasan drama) menjadikan peserta didik lebih mudah untuk memahami dan menyerap nilai-nilai karakter tersebut. Selain itu, tugas-tugas yang bisa dikerjakan dirumah dapat mengambil contoh tentang apa yang dilihat peserta didik di televisi kemudian pendidik akan menjelaskan sekaligus meluruskan nilai-nilai apa saja yang ada dalam film di televisi tersebut. Ini akan lebih menggoreskan nilai-nilai pendidikan karakter yang didapat di benak peserta didik.
4. Novel
Menggunakan novel sebagai media untuk mengungkapkan nilai-nilai atau norma-norma dalam masyarakat melalui diskusi pun bisa digunakan oleh pendidik. Novel banyak memberikan kisah-kisah yang mampu menjadikan pembacanya berimajinasi dan masuk dalam cerita novel tersebut. Banyak penikmat novel yang terpengaruh dengan isi yang ada dalam novel, baik itu gaya berbicara, busana bahkan perilaku tentunya setelah membaca dan memahaminya. Hal ini sangat baik apabila pendidik mampu memasukkan pendidikan karakter untuk bisa mempengaruhi peserta didiknya.
5. Pantun
Peserta didik diajak membuat berbagai pantun nasehat untuk memunculkan berbagai nilai-nilai karakter dalam kehidupan peserta didik. Nasehat-nasehat yang dibuat akan menggores diingatannya, peserta didik akan mengaplikasikannya karena nasehat itu berasal dari dirinya sendiri untuk teman-temannya.
6. Cerita Lisan
Penggunaan contoh sastra lisan dalam hal ini cerita rakyat merupakan sarana yang baik untuk memberikan contoh kepada peserta didik. Apalagi cerita yang disampaikan adalah cerita rakyat dari daerah peserta didik sendiri.
Pendidik bisa juga menggunakan drama sebagai media untuk melukiskan kejadian-kejadian yang berisikan nilai-nilai karakter. Sehingga secara audio visual serta aplikasi langsung (pementasan drama) menjadikan peserta didik lebih mudah untuk memahami dan menyerap nilai-nilai karakter tersebut. Selain itu, tugas-tugas yang bisa dikerjakan dirumah dapat mengambil contoh tentang apa yang dilihat peserta didik di televisi kemudian pendidik akan menjelaskan sekaligus meluruskan nilai-nilai apa saja yang ada dalam film di televisi tersebut. Ini akan lebih menggoreskan nilai-nilai pendidikan karakter yang didapat di benak peserta didik.
4. Novel
Menggunakan novel sebagai media untuk mengungkapkan nilai-nilai atau norma-norma dalam masyarakat melalui diskusi pun bisa digunakan oleh pendidik. Novel banyak memberikan kisah-kisah yang mampu menjadikan pembacanya berimajinasi dan masuk dalam cerita novel tersebut. Banyak penikmat novel yang terpengaruh dengan isi yang ada dalam novel, baik itu gaya berbicara, busana bahkan perilaku tentunya setelah membaca dan memahaminya. Hal ini sangat baik apabila pendidik mampu memasukkan pendidikan karakter untuk bisa mempengaruhi peserta didiknya.
5. Pantun
Peserta didik diajak membuat berbagai pantun nasehat untuk memunculkan berbagai nilai-nilai karakter dalam kehidupan peserta didik. Nasehat-nasehat yang dibuat akan menggores diingatannya, peserta didik akan mengaplikasikannya karena nasehat itu berasal dari dirinya sendiri untuk teman-temannya.
6. Cerita Lisan
Penggunaan contoh sastra lisan dalam hal ini cerita rakyat merupakan sarana yang baik untuk memberikan contoh kepada peserta didik. Apalagi cerita yang disampaikan adalah cerita rakyat dari daerah peserta didik sendiri.
Selain cara-cara di atas masih banyak cara-cara yang lainnya yang
bisa digunakan oleh pendidik atau bahkan dikombinasikan untuk menyampaikan
nilai-nilai dalam pendidikan karakter, namun jangan terlepas dari penyeleksian
atau pemilihan bahan ajar yang tepat. Karena dengan memilih bahan ajar yang
tepat, peserta didik akan merasakan kedalaman materi yang membuat mereka
menyadari makna kehidupan. Kesadaran itulah yang akan membuat pembelajaran
bukan sekadar mengajarkan materi, tetapi juga mendidik.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pengaruh sastra dalam pembentukan karakter siswa tidak hanya didasarkan pada nilai yang terkandung di
dalamnya. Pembelajaran sastra yang
bersifat apresiatif pun sarat dengan pendidikan karakter. Kegiatan membaca,
mendengarkan, dan menonton karya sastra pada hakikatnya menanamkan karakter tekun, berpikir kritis, dan
berwawasan luas. Pada saat yang bersamaan dikembangkan kepekaan perasaan
sehingga siswa akan cenderung cinta kepada kebaikan dan membela kebenaran.
Pada
kegiatan menulis karya sastra, dikembangkan karakter tekun, cermat, taat, dan
kejujuran. Sementara itu, pada kegiatan dokumentatif dikembangkan karakter
ketelitian, dan berpikir ke depan (visioner).
Tingkat apresiasi
sastra masyarakat sangat terkait dengan pengajaran sastra di sekolah. Peran
lembaga pendidikan sangat penting untuk menumbuhkan sikap apresiatif terhadap
karya sastra sejak dini. Pengajaran sastra harus berjalan dengan baik, agar
kemampuan dan sikap apresiatif siswa terhadap karya sastra dapat tumbuh secara
sehat.
3.2 Saran
Melalui
pengajaran sastra, diharapkan dapat berperan dalam membentuk karakter
yang positif pada diri siswa. Namun, pembentukan karakter siswa itu tidak akan
maksimal, atau bahkan gagal, jika pengajaran sastra gagal menumbuhkan minat
baca siswa pada karya sastra, dan mereka tetap tidak memiliki sikap apresiatif
terhadap karya sastra.
0 komentar:
Posting Komentar